Minggu, 07 Agustus 2011

Jalan Layang Kp Melayu - Tn Abang: Proyek Dari dan Untuk Kapitalis

Kalau tidak macet, mungkin Jakarta tidak populer lagi. Dan kalau tidak macet lagi, Jakarta hanya dikenal sebagai ibukota negara, lalu apa spesialnya? :( Hal inilah mungkin yang membuat Jakarta tetap menjaga kelestarian macetnya supaya tetap populer, dan usaha ini didukung oleh kaum kapitalis juga borjuis, hehe... kira - kira begitu.. ironis!

Karena tiap hari melintasi jalur ini, lama - lama saya berpikir, apa sih untungnya jalur ini dibangun dan apakah proyek ini berguna untuk jangka panjang sementara sisem lain tidak disinergikan untuk mengurangi kemacetan.

Menurut saya proyek jalan layang non tol ini benar - benar tidak memihak pada masyarakat kecil tetapi berpihak pada kapitalis. Pertama, proyek ini pasti sedang dan akan menelan biaya yang sangat besar, dan yang diuntungkan adalah pengembang. Tidak hanya itu, karena bersinggungan dengan pemerintahan biasanya setelah proyek selesai, lalu tercium dan meledaklah kasus penyelewangannya hahaha... Klasik.. seperti proyek - proyek sebelumnya dan yang akhir - akhir ini terdengar adalah wisma Atlet. Ups, kembali ke laptop!
Kedua, cita - cita proyek ini kan untuk mengurangi kemacetan. Lalu, saya pikir, efek macet berkurang itu hanya akan terjadi paling tidak 2 tahun pertama, tetapi setelahnya akan macet kembali. Hal ini dikarenakan jumlah kendaraan yang terjual baik mobil dan motor terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Sungguh tidak ada kontrol dari pemerintah untuk memfilter tingginya tingkat pembelian kendaraan, yang mungkin karena pajak yang begitu rendah. Kalau sudah begini, jalanan ini kembali macet, dan supplier kendaraan yang diuntungkan. Yang perlu diingat dan dilihat fenomenanya adalah disepanjang jalur ini sudah ada dan akan sedang dibangun apartemen - apartemen, mall - mall dan sejumlah fasilitas elit kaum kapitalis - borjuis. Luarr biasa..!

Dalam hal ini pemerintah tidak berpihak pada masyarakat level menengah kebawah. Pamarintah amnesia bahwa penggerak ekonomi di negeri ini adalah masyarakat dari golongan tersebut. Mereka lupa GDP yang dihitung tiap tahun itu banyak yang tidak terhitung dan totalnya ngawur karena sektor ekonomi di Indonesia itu terus berputar karena gerobag gorengan, tukang sayur di pasar - pasar tradisional, dan tukang gerobag keliling dengan jualan bervasiasi, hasil penjualan ikan nelayan, transaksi para petani, penjual warteg yang mendominasi hampir disemua tempat merata di Indonesia termasuk para PKL. Hak - hak mereka sebagai warga negara sungguh sudah dikesampingkan dibawah investor - investor asing pemilik apartemen, mall, perusahaan multinasional dan fasilitas kaum kapitalis lainnya. Benar - benar tidak adil.

Kecewa, Darsem yang berubah

Darsem, seorang TKW yang beruntung karena terbebas dari hukuman pancung di Riyadh, Arab Saudi karena berhasil ditebus Rp 4.6 miliar oleh pemerintah Indonesia. Keberuntungan tidak hanya sampai disitu saja karena sekembalinya ke tanah air, Darsem mendapat simpati dari masyarakat Indonesia dengan diberi santunan. Animo masyarakat untuk membantu Darsem mungkin karena sebelum kasus Darsem terjadi banyak sekali kasus - kasus TKI yang tidak terselesaikan bahkan berakhir di kayu pancungan, terlebih diwaktu yang berdekatan kasus Ruyati yang sangat tragis karena tidak dibawah kontrol dari KBRI di Arab pun terkuak. 

Hal inilah yang menjadi latarbelakang terkumpulnya dana sebesar Rp 1.2 MILIAR dari masyarakat yang peduli terhadap nasib TKI. Ternyata Darsem tidak menjaga amanah masyarakat untuk mempergunakan sumbangan tersebut sebaik - baiknya. Belakangan diketahui Darsem membelikan uang itu untuk rumah mewah, membeli perhiasan, selain itu terungkap dari tayangan di suatu stasiun TV swasta bahwa sikap Darsem terhadap tetangga dan beberapa kerabatnya berubah. Darsem sederhana berubah menjadi angkuh nan sombong. Tidak hanya sampai disitu saja, Darsem memang telah memberikan sebagian dana itu kepada ahli waris Ruyati, seorang TKW yang mendapat hukuman pancung tanpa sepengetahuan KBRI Arab, sebesar Rp 20 Juta. Yahh hanya Rp 20 Juta dari 1.2 MILIAR yang diterimanya.

Segenap pihak menyayangkan sikap Darsem ini. Seharusnya Darsem bijak dalam menggunakan dana sumbangan masyarakat itu. Juga paling tidak memberi ahli waris Ruyati sebesar Rp 300 - 500 juta! Sikap Darsem ini secara psikologis mengecewakan masyarakat luas, bahkan dapat membuat efek kapok bagi orang banyak untuk peduli terhadap TKW secara umum, padahal permasalahan TKI belum sepenuhnya tuntas dan masih akan terus menghantui karena belum adanya kematangan pemerintah RI dalam mengatasi dan mencegahnya. Darsem sederhana berubah menjadi glamor. Darsem, singkatan dari se-DAR-hanamu SEM-u !