Kamis, 02 Juni 2016

Senandung Talbiyah


لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ
إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

"Aku memenuhi panggilanMu ya Allah aku memenuhi panggilanMu. Aku memenuhi panggilanMu tiada sekutu bagiMu aku memenuhi panggilanMu. Sesungguhnya pujian dan ni’mat adalah milikMu begitu juga kerajaan tiada sekutu bagiMu"

Meski sudah pulang dari Umroh, rasanya masih belum percaya kalau saya dan keluarga alhamdulillah dipanggil oleh Allah.




























Rabu, 03 Februari 2016

Critical Review Film "Ketika Mas Gagah Pergi"








Banyak cara menikmati film, salah satunya dengan menulis critical review dimana kita bebas menjewantahkan sudut pandang dari berbagai sisi subjektifitas kita. Saya tertarik untuk mereview film ini karena banyak teman-teman disekitar saya sedang membicarakannya di grup chatting maupun media sosial.


Secara umum saya suka dengan film ini karena dengan mudah pesan yang ingin disampaikan sang sutradara dapat saya terima dengan baik. Bahasa yang digunakan dalam dialog juga bahasa sehari-sehari, bukan bahasa filosofis, yang dapat saya nikmati sambil makan cemilan dan minum sambil nonton. Karena ada lho film yang dibuat dengan dialog bahasa filsafat sehingga kalau kita melamun dua detikpun maka kita akan ketinggalan alur ceritanya.

Meskipun demikian, film ini memiliki beberapa sisi yang asyik untuk direview. Sebelum membaca tulisan ini lebih lanjut, teman-teman boleh berbeda pandangan dengan saya ya. No offense, please...

Kekuatan dari film ini ada pada pesan moralnya, biasanya inilah kekuatan film bernuansa religi. Hanya saja, saya agak kecewa ketika sang sutradara melupakan bahwa unsur penting dari sebuah film yaitu visualisasi selain alur naskah cerita. Saya pernah sebersit mencuri-curi waktu membaca novel asli dari karya Helvy Tiana Rosa ini di sebuah toko buku, karena ogah beli novelnya makanya saya membacanya saja di toko buku tersebut sampai habis setengah buku hehe... dan menilai novel ini memiliki kekuatan pada naskah cerita. Banyak hal sebenarnya bisa memberi kekuatan visualisasi pada cerita di film ini kalau dieksplor lebih lanjut. Misalnya saja keindahan alam Ternate. Saat melihat trailernya saya berharap film ini akan menyuguhkan scene pemandangan keelokan Ternate, namun nyatanya hanya sekitar 20% saja dari total setting tempat yang mengambil view Ternate sisanya hanyalah pengulangan scene. Padahal kalau saja sang sutradara mengeksplorasi Ternate dan menyajikannya dalam cakupan yang lebih luas pada film ini seperti kebiasaan masyarakatnya, pemandangannya atau hal-hal baru yang membuka wawasan penonton, maka secara tidak langsung film ini juga memberi kontribusi promosi wilayah Indonesia yang belum terjamah sebagai objek favorit wisata dunia paling tidak bagi masyarakat di Indonesia.Kalau terjadi kan sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Saya teringat akan beberapa film yang mampu menghipnotis penontonnya untuk menjadikan setting tempat menjelma menjadi tempat favorit tujuan petualangan penggila travelling, sebut saja "Pasir Berbisik" untuk Bromo, "The Mirror Never Lies" untuk Wakatobi, "Sokola Rimba" untuk suku pedalaman Jambi, "Laskar Pelangi" untuk Bangka Belitung dan masih banyak lagi film-film dengan tema bervariasi tetapi mampu memerankan fungsi gandanya sebagai ajang promosi kecantikan Indonesia.

Banyak yang menyebutkan film ini adalah film dengan idealisme, salah satunya karena menegaskan bahwa ini adalah film religi islam maka nilai-nilai religius keislaman mendominasi dialog, pesan, latar darinya. Ada juga yang menyebutkan idealis karena mungkin hanya ini film religius Islami yang tidak menayangkan adegan bersentuhan antara aktor satu dan lainnya meski saya mengerti pasti agak sulit juga karena pada kenyataannya Ibu dan anak, kakak dan adik, kan sebenarnya muhrim terlepas dari anggapan bahwa ini kan hanya peran. Tetapi bagi aktor dan aktris yang malang melintang didunia seni peran tentu mereka akan menyebutkan hal itu sama saja dengan tidak menjiwai peranlah, tidak meyakinkanlah dlsb. Apapun alasannya saya memiliki argumentasi sendiri tentang alasan yang menurut saya film ini tidak idealis-idealis amat, yaitu masih mempertontonkan beberapa aktris yang tidak berhijab. Padahal kan itu bagian dari aurat yang harus ditutupi sementara audiens film ini kan juga ada para ikhwannya, maka berarti para ikhwan menonton aurat hehe... Itu pendapat pribadi saya saja kok.

Meskipun demikian, sisi lain kekaguman saya kepada para pemeran di film ini yaitu setelah saya melacak background pemerannya ternyata beberapa dari mereka memang penghafal Al-Qur'an. Agak langka rasanya di industri perfilman Indonesia kita menemukan seorang aktor yang bukan saja 'menjual' fisik semata sebagai unsur utama estetika visual tetapi juga ditunjang dengan kualitas keislaman didunia nyatanya. Banyak kan kita menemukan aktris yang di filmnya berhijab tetapi didunia nyatanya tidak berhijab. Walaupun memang saat kita menikmati filmnya ya seharusnya nikmati saja alur cerita dan sajian filmnya, tapi kalau ada keunikan yang demikian maka saya sangat mengapresiasinya.

Bagi saya, film ini sebenarnya bercerita tentang gambaran hubungan/relationship sebagai fitrah manusia yang memiliki hubungan dengan Pencipta, keluarga : Kakak dan adik, Ibu dan anak, teman, sahabat dan masyarakat sosial secara lebih luas. Semua peran -peran ini kita lakoni selama hidup didunia dan terkadang diantara sesama pemain peran terjadi persinggungan termasuk ketika salah satu pemeran lain melakukan pergeseran skenario awal yang dikenali pemeran lain sebelumnya, salah satunya berhijrah/berpindah dengan konotasi berubah kearah yang yang baik dari sudut pandang religi. Kata 'Pergi' dalam judul film ini dapat juga diinterpretasikan kepada berpindah dari satu titik ke titik lain dan menjauh dari sudut pandang pemeran lain (Gita sang Adik, sang mama, dan teman-teman Mas Gagah).
Bukankah sangat wajar bila disaat hijrah maka peran-peran lain disekitar kita juga terpaksa melakukan adaptasi sebagai reaksi dari hijrah tersebut? Ada yang menerima dengan baik ada juga yang memerlukan waktu. Bagi Mas Gagah, perubahan yang terjadi juga tidak mudah karena harus menghadapi benturan, tekanan, dan rintangan. Sementara bagi peran yang bersinggungan dengan Mas Gagah seperti Gita, mama, dan teman-temannya juga tidak mudah karena merasa kehilangan sosok Gagah yang dulu dikenali mereka. Hal inspiratif dari cerita ini tentang hijrah yaitu satu scene yang mengandung dialog bahwa ketika kita belum bisa menerima kebaikan paling tidak hormatilah perbedaannya. Kira-kira seperti itu kalimatnya. Pesan ini menurut saya sarat akan makna untuk saling bertenggang rasa terhadap perubahan dan perbedaan sudut pandang.

Hal minor yang terdapat dalam scene yang sempat mengusik konsentrasi saya yaitu:
1. Munculnya domplengan iklan produk seperti War*ah di beberapa scenenya yang sengaja di zoom in oleh kamera. Tidak apa-apa sih, hanya gengges (mengganggu) aja. hehe...

2. Scene ketika terjadi perkelahian di dalam bis TransJakarta yang berlangsung cukup lama. Menurut saya itu agak aneh hehe,, karena didalam bis tidak ada kondektur, padahal kan biasanya ada kondekturnya. Ditambah lagi bis dalam keadaan terus berjalan sementara didalam bis terjadi kericuhan. Saya beritahu ya sodara-sodara, yang namanya bis TransJakarta itu, per sekian meter berhenti karena jarak antar halte satu dan lainnya berdekatan, lalu jangankan terjadi kericuhan, lha wong ngga ricuh saja bisnya bisa berhenti kok (mogok), maka agak janggal bagi saya saat melihat scene perkelahian yang cukup lama didalam bis tapi bisnya terus saja melaju. Anehh...sungguh....

3. Berdakwah di bis Kopaja juga menurut saya ngga sesuai deh meski memang Yudhi, si pendakwah itu tidak mau diberi uang sebagai imbalannya tapi tetap saja menurut saya kurang tepat konteksnya kalau ceramahnya di dalam bis Kopaja. Kalau nanti ditiru oleh yang lainnya untuk berceramah didalam bis Kopaja kan bisa berabe. Bisa-bisa citra islam menjadi buruk karena dianggap tidak bertenggang rasa di tempat umum dimana ada umat beragama lain juga disitu. Menurut saya masih banyak cara-cara syiar Islam yang tidak membuat pemeluk agama lain merasa terganggu.

4. Secara umum cerita dalam film ini antar fase konfliknya tidak terlalu berkarakter juga menarik dari fase konflik naik - konflik - lalu konflik reda,malah cenderung mirip cerita sinetron. Saran saya bagi sang sutradara kalau misalnya akan membuat film "Ketika Mas Gagah Pergi 2" hendaknya memperkuat alur naskahnya cerita supaya filmnya lebih berkarakter. Meskipun demikian akting pemeran-pemeran sentralnya tetap saya acungi jempol karena terlihat menjiwai perannya dengan baik.
Mudah-mudahan cerita KMGP 2 nanti tidak mengecewakan rasa penasaran penonton yang sudah di PHP-in di KMGP session 1. Saya turut mendoakan para crew dan pemainnya semoga makin sukses ya. Amiinn...