Senin, 19 November 2012

Filosofi Hidup Ikan Salmon

Siapa yang tidak kenal ikan ini. Mahalnya minta ampun. Mungkin karena kandungan gizi dan citarasa serat daging ikannya yang membuatnya ada di rate ikan eksklusif.

Saya salah satu fans berat ikan ini. Filosofi hidup ikan Salmon menyemangati saya ketika menghadapi tantangan sebesar apapun.
Ikan ini menarik bagi saya karena saat hidup mereka berenang melawan arus sungai yang mengalir. Sambil menyusuri terpaan derasnya arus air dengan gigih, kekuatan mereka dikerahkan menuju tujuan yang dikehendaki. Kemudian, dengan menggerakkan seluruh kekuatan ekor, sirip, kepala mereka meliuk-liuk susah payah menerjang segala halangan yang ada didepannya. Padahal, untuk melawan derasnya aliran sungai itu mereka juga kadang harus melompat dan hal ini diiringi dengan resiko terbentur batu, terpental, atau bahkan ancaman beruang yang akan memangsa mereka bersiap didepan sana. Tetapi tekat mereka sudah bulat tak tergoyahkan dengan ancaman bahaya didepannya. 

Keberanian ikan Salmon mengajariku bagaimana seharusnya kita gigih mencapai suatu tujuan meskipun resiko besar menunggu disana. Bukankah segala sesuatu ada resikonya tidak terkecuali dalam menjalani hidup? Mungkin tujuan yang kita yakini membawa kebaikan bagi kita dan orang lain tsb tipis sekali pembatasnya dengan rintangan yang dihadapi.

Pilihan "mengikuti arus" memang gampang dan tidak perlu menguras tenaga daripada untuk "melawan arus untuk hal positif" yang harus melewati rintangan besar. Untuk itu, kesuksesan memang tidak mudah, tetapi saya yakin kesuksesan dan rintangan hanya disekati oleh dinding tipis. Menempuh cara "melawan arus" dengan tetap gigih pada pendirian untuk tujuan positif masih menjadi pilihan.... karena hidup itu memang selalu menyikut kita pada persimpangan sebuah pilihan.

Rabu, 17 Oktober 2012

Alasan Eropa TIDAK layak Mendapat Nobel Perdamaian

Menakjubkan bagi saya saat Komite Nobel Perdamaian menganugerahkan Hadiah Nobel Perdamaian 2012 kepada Uni Eropa. Ini adalah penghargaan untuk enam dekade perdamaian, rekonsiliasi, demokrasi dan hak asasi. Meskipun UE damai dalam enam dekade terakhir tetapi sudah relevankan gambaran penganugerahan Nobel Perdamaian itu terhadap UE?

Layak atau tidak layaknya UE menerima Hadiah Nobel Perdamaian hendaknya kita tanyakan kepada Suriah, Libya, Afganistan dan juga lihat persepsi Irak. Bukankah Eropa juga turut mendukung AS dalam memaksakan kehendaknya di dunia dalam unjuk kekuatannya?.

Selain itu menurut organisasi Hak Asasi Manusia yang bermarkas di AS, Human Right Watch, mengatakan UE terbukti tidak serius menangani pelanggaran HAM, tidak memberikan perlindungan memadai terhadap imigran, melakukan diskriminasi terhadap etnis nomaden Roma, dan terjebak aksi kekerasan rasialis.
Selanjutnya, UE juga pernah dikritik karena memblokir Turki untuk menjadi anggota UE. Tidak hanya itu saja, NATO, Pakta Pertahanan Atlantik Utara menganggap kedamaian yang terjadi di UE bukan karena UE tetapi karena Pakta ini. Mungkin Nobel lebih cocok diberikan kepada Jerman yang telah berekonsiliasi dengan tetangga seusai perang dunia.

Mari kita telaah wasiat Alfred Nobel yang pada tahun 1901 memberi wasiat Nobel, yaitu Komite harus menemukan orang yang telah terbukti melakukan karya terbaik demi persaudaraan diantara bangsa-bangsa, abolisi dan pengurangan tentara, serta terbukti kukuh mendorong dan menjunjung tinggi perdamaian.

Kalau Hadiah ini diberikan hanya dengan alasan penyesuaian momentum UE yang terancam pecah untuk mengingatkan perluya persatuan, maka alasan tersebut hanya akan membahayakan keontentikan Nobel, berarti Komite telah mengabaikan wasiat Alfred Nobel.

Minggu, 01 Juli 2012

Masih Seksi

Alhamdulillah, bersyukur penuh atas bimbinganMU disertai doa dan dukungan keluarga, sahabat, teman, teman kantor, murid kursusan, my Ex-,  selesai juga perjuangan 2 tahun ini. Inilah akhir dari malam-malam begadang selama 2 tahun. Rabu, 27 Juni, dengan lantang Ketua Sidang Tesis mengucapkan saya dinyatakan lulus. Saya tidak peduli berapapun skornya, yang penting lulus. Karena dengan lulus, saya terbebas dari kewajiban membayar SPP lagi hehe, juga berhenti dengan kebiasaan buruk untuk begadang tiap hari.

Beberapa teman memanjangkan gelar M.Si untuk lucu-lucuan seperti Masih Seksi, Masih Single, Master of Singit dll, apapun itu, begitulah pelapiasan kebahagiaan kami. Berfoto ala gila pun kami lakukan sebagai ekspresi kemenangan. Puas rasanya menikmati indahnya masa-masa belajar bersama. Semoga ilmu dan pengalaman yang kami dapatkan bermanfaat bagi orang banyak bangsa dan negara (jiahh.. nasionalis).













P.S. Foto-foto yang ada di postingan ini adalah copyright teman saya yang sangat kreatif, Epica Mustika Putro, saya memang belum ijin beliau untuk publish hasil jepretannya, tetapi saya yakin, beliau pasti bolehin haha.. *Srempet Epica. 

Selasa, 12 Juni 2012

Sidang, Siapa Takut??

Sebentar lagi musim sidang tesis bagi beberapa teman dan saya yang nekat mau menyelesaikan studi di semester ini. Alasannya sederhana, kami menghindar dari beban bayar sekian digit yang mending dipake nabung buat Menikah itu !.

Kalau di Indonesia, istilah yang dipakai untuk mempresentasikan karya ilmiah yang kita buat (tesis/skripsi) di depan dewan penguji disebut "sidang". Kemudian, saya berpikir lagi dengan suatu konstruksi pemikiran bahwa "kita akan di sidang". Saya tidak mau terlalu menghayati istilah ini, karena hal ini membuat saya secara psikologis akan seperti tertuduh di ruang sidang, orang yang sedang di interogasi diruang pemeriksaan, orang yang sedang di selidik dan di cari-cari kesalahannya oleh pihak lain.

Sekarang, saya sedang berusaha untuk merasa lebih tenang menghadapi sidang tesis dengan mengkonstruksikan kata sidang seperti konteks: lagi jalan-jalan, tiba-tiba ada yang numpang tanya dimana lokasi Mall Ambasador, dimana lokasi bioskop 21, hehe. Se..sederhana itu. Dengan demikian, saya masuk ruang ujian tesis, tidak datang sebagai orang yang siap untuk di interogasi atau dihakimi tetapi sebagai orang yang dimintai penjelasan/informasi terhadap sesuatu yang saya tidak boleh berasumsi orang yang bertanya itu sudah tau hal tersebut.

Teknik ini saya dapatkan dari dosen yang mengajari saya bagaimana berpresentasi yang benar dulu di Salatiga.

Kata "sidang" identik dengan situasi pekerjaan yang berkaitan dengan hukum. Mungkin dengan Sidang, memori database kita akan memanggil suatu file  dari alam bawah sadar bahwa ini akan berhubungan dengan hukuman, kursi pesakitan, meja hijau dll.
Sedangkan saya coba bertanya kesalahsatu teman kantor yang native, menurut dia dalam bahasa inggris, kata "sidang" itu diterjemahkan dengan kata "defense", agak-agak militer gitu ngga sih? hehe..

Tapi persepsi kata sidang berelasi dengan makna pasif, karena kita seperti akan di sidang.
Sementara kata defense, mengandung persepsi (dipikiran saya) aktif. Kita sedang membela diri, atau bertahan dengan argumen yang sudah dibuat.

Apapun itu, kata "sidang" dan "defense" sungguh telah membuat saya dan teman-teman pasti deg-deg-an, tidak tidur nyenyak. Usulan konkret dari saya, supaya menghadapi sidang dengan tenang, lebih baik mempersepsikannya dalam konteks: lagi jalan-jalan di pantai Kuta, ehh tiba-tiba ada yang nanya "permisi mbak/mas, sudah punya pacar belum? Kalo mau ke Hard Rock kearah mana ya? Yukk saya traktir.
Huehehe...

Gudlak, man teman..



Rabu, 28 Maret 2012

Tomcat: dalam Perspektif Keamanan Internasional (Analisa Pribadi).

Sudah lama tidak menulis disini, tiba-tiba muncul isu menggegerkan di salah satu belahan negeri ini dengan kemunculan serangga imut tapi penyerang bernama keren 'Tomcat' (masih sodara-an sama Tom Cruise kaliii yg suka makan Tom Yum itu ;) ). Petani mungkin tidak asing dengan serangga "lucu" ini, bahkan bersahabat, karena Tomcat sering membantu petani dalam membasmi wereng, hama klasik disawah yg menjadi musuh bebuyutan pak tani. Bagai terserang tsunami Tomcat, warga dan publik juga dinas kesehatan daerah rusuh mengurusi serangan predator ini. Hal ini dikarenakan Tomcat tidak lagi menyerang wereng disawah tetapi juga manusia. Saya setuju dengan pendapat umum dari sudut pandang lingkungan yang mengatakan kerusakan habitat Tomcat-lah yg menyebabkan serangga ini mencari lingkungan yang baru sebagai tempat tinggalnya yang pada akhirnya merambah ke pemukiman penduduk. Para ahli lingkungan berpendapat, populasi Tomcat meningkat saat berakhirnya musim hujan, saat yang bersamaan dengan petani memanen padi sehingga kumbang Tomcat beterbangan menuju sumber cahaya di pemukiman. Memang logis penjelasan tersebut bila dilihat dari kacamata kerusakan lingkungan. Tetapi tidak ada salahnya juga kan melihat isu ini dari sudut pandang perspektif keamanan nasional dan internasional, mengingat sebelum Tomcat merebak, di sekitar lokasi yang sama juga pernah merebak serangan ulat bulu yang sempat meresahkan seperti Tomcat karena menyebaran meluas hingga ke timur Indonesia.

Beberapa hari ini saya berselancar di google mencari analisa merebaknya Tomcat dari perspektif keamanan nasional tetapi belum ada, kerusakan  lingkungan dituduh sebagai faktor utama penyebabnya. Meskipun memang benar, tetapi saya mencoba menganalisanya dari sudut pandang yang berbeda yaitu kajian keamanan internasional khususnya senjata biokimia (biological and chemical weapons). Bergerak dari pemikiran Next Generation War, saya menduga ada negara yang sengaja menyebarkan senyawa kimia ataupun biologi yang membuat serangga ini berkembang biak dengan massive penyebarannya sehingga mengancam gagal panen pak Tani kita. Ini bukan tuduhan tetapi dugaan pribadi dan dapat saya sertakan dengan bukti-bukti sederhana namun logis, seperti berikut ini:
Rebakan Tomcat hampir mirip dengan rebakan ulat bulu beberapa waktu lalu. Bedanya, rebakan Tomcat menjadi ancaman gagal panennya pak tani, kalau rebakan ulat bulu mengancam gagal panen buah. Selain itu, coba perhatikan sasaran wilayah rebakan awalnya. Mengapa sama-sama di Jawa Timur, lalu bergerak ke Jawa Tengah kemudian perlahan tapi pasti bergerak ke Timur Indonesia? Lingkungan dan arah angin kencang dapat saja dijadikan kambing hitam, namun bagi saya kedua hal tersebut dapat menjadi faktor pendukung keberhasilan "proyek" boombastis ini. Seharusnya kita mulai berpikir kritis bahwa ada target besar dibalik ini semua. Hal ini tidak sesederhana isu kesehatan dan lingkungan belaka namun juga ekonomi nasional negeri ini. Hal ini memiliki efek domino pada pendapat petani dan negara karena menurunkan angka expor buah (untuk kasus ulat bulu) dan beras (untuk kasus Tomcat). Lihat saja, setelah media memberitakan rebakan Tomcat dan ulat bulu, beberapa bulan kemudian berita tentang gagal panen petani menyusul. Gagal panen sama artinya ekspor kita dicekal, lalu di dicekoki komoditi pertanian impor. Tidak sulit kan menemukan buah impor di pinggir jalan dengan harga yang lebih murah? Sebentar lagi mungkin padi impor akan lebih leluasa masuk. Hal ini juga ditunjang oleh kebijakan pemerintah yang pro impor tanpa melihat kesengsaraan rakyat secara umum terutama yang berada dilevel menengah kebawah juga petani lokal. Jadi, faktor angin dan lingkungan akan terus menjadi kambing hitam dalam isu ini. Pembuat "proyek" ini pastilah memperhitungkan kecepatan angin, iklim, suhu dll sehingga membuat seolah semuanya menjadi faktor yang patut dipersalahkan.

Tulisan ini memang dikupas ringan agar mudah dimengerti.. Perlu kajian lebih lanjut dengan sistematis akademis dan terstruktur dalam menganalisanya agar lebih reliable. Bila ada teman-teman yang tertarik untuk mengajak saya menelitinya, saya menerima dengan senang hati dan tangan terbuka (ataupun berbisnis rempeyek Tomcat untuk di ekspor  ^v^ '-  sbg komoditi alternatif karena tidak bisa lagi ekspor buah & beras ).

*lap kringat

Kamis, 02 Februari 2012

Sumba, I'm in love !

Work  hard, Play Hard
Tidak juga dapat dibilang ini aksi balas dendam karena saat kebanyakan orang merayakan malam pergantian tahun, saya menikmati manuver kembang api dari balik jendela kamar dilantai 2 kos-kosan sambil mengerjakan take-home ujian akhir semester hingga dini hari. Setelah berkerja keras selama semester ini dengan hasil yang cukup sesuai dengan pengorbanan, kini saatnya memberi reward kepada diri sendiri dengan menghabiskan waktu libur ke tempat yang jarang dituju sebagai daerah tujuan wisata tetapi menyimpan segudang alasan mengapa Indonesia memiliki potensi istimewa akan keberagaman budayanya. Dan salah satunya Sumba. Berikut laporannya...

Setelah menempuh penerbangan dari Jakarta ke Denpasar yang cukup melelahkan karena jadwal pesawat sempat mengalami keterlambatan, akhirnya sampai juga di Pulau Dewata. Sayapun meluangkan waktu sebentar untuk berkeliling, lalu perjalanan kulanjutkan dengan pesawat kecil menuju Bandara Tambolaka yang terletak di Sumba Barat Daya. Waktu tempuhnya kurang dari 1 jam, dan agak  bumpy, maklum pesawat kecil.. sampai juga di bandara yang sedang direnovasi ini.  Terlihat gedung bandara menjadi lebih baru daripada kedatanganku 3 tahun lalu, 2009. Walaupun demikian, kondisi bandara baru ini masih jauh dari kelayakan. Lihat saja proses pengambilan bagasi penumpang... sangat manual. Barang diangkut dengan troli besar dari badan pesawat oleh staf dan porter bandara, lalu satu per satu diturunkan, sementara penumpang yang melihat barangnya sudah diturunkan lalu mengambil sendiri travel bagnya. Muncul pertanyaan dari benak saya, bagaimana kalau barangnya tertukar, atau ada yang iseng mengambil bukan miliknya. Hehe.. ternyata tidak ada... orang Sumba tidak iseng seperti sebagian kecil orang Jakarta. Disini aman, meskipun orang baru seperti saya sempat curiga untuk pertama kali tiba disini, karena wajah mereka seram eh..asing bagi saya dan face profile-nya sulit dibedakan satu sama lain, dengan mulut dan gigi yang memerah. Belakangan saya baru tau hal itu disebabkan karena mereka memiliki kebiasaan mengunyah sirih pinang. Hal tersebut dilakukan bukan saja oleh wanita tetapi juga pria. Saya pikir mereka habis minum darah, atau berkanibal hihihi... Sehingga saya mengira saya akan dijadikan korban berikutnya. Akhirnya saya menyesal sempat berpikir demikian, ternyata mereka begitu santun walau nada bicara terdengar tinggi bagi saya yang tidak biasa mendengarnya dan sedikit menghentak-hentak, tetapi lama kelamaan saya terbiasa. Kata yang tepat untuk mendiskripsikan karakter mereka adalah: santun, ramah, dan tulus ikhlas membantu terutama kepada para pendatang. Hati mereka seramah alamnya yang menyambut kedatangan saya dengan karpet sabana & stepa hijau yang membentang luas, lalu pandangan saya dibatasi oleh bukit-bukit hijau, mirip film teletubies. This is the beginning of the adventure....


Perjalanan saya berlanjut ke desa Anakalang, jarak tempuhnya sekitar 1.5 jam dari bandara Tambolaka (dijamin bebas macet), atau sekitar 22KM dari Waikabubak, ibukota Kabupaten Sumba Barat. Setiba di Anakalang saya disambut hangat oleh warga yang ternyata mereka semua se-keturunan. Tidak mengherankan karena perkawinan sedarah dilegalkan oleh masyarakat di desa terluas di Sumba Tengah ini. Anakalang merupakan salah satu desa di Sumba Tengah dan Waibakul sebagai ibukota kabupatennya sejak terjadi pemekaran kabupaten.

 Wilayah ini subur sama seperti Waikabubak yang hijau, memang agak berbeda dengan Waingapu, ibu kota Sumba Timur yang agak gersang. Saat bertemu apa yang terjadi, seperti ini…
Eiitss … kita bukan mau cipika cipiki , tapi cium Sumba. Saat bertemu kita harus memberi salam dengan cara menyentuhkan cuping hidung, digesekkan dua kali kekanan dan kekiri lalu saling memegang bahu. Hal ini pengganti berjabat tangan dan cipika cipiki. Awalnya saya risih, apalagi saat akan menyentuhkan cuping hidung pada pria, takutt.. hihi..juga dicampur perasaan geli karena terlihat lucu tapi lama kelamaan saya terbiasa. Seperti kata pepatah, “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”.

Keesokan harinya, kami bertamasya ke Pantai Kita, salah satu pantai yang belum tersentuh oleh tangan investor, hehe.. jadi tidak ada hotel dan penjual di pantai yang belum komersil ini. Untuk itu, kamipun tidak lupa membawa makanan dan minuman sebagai bekal jalan-jalan. Sayangnya pemerintah daerah ikut-ikutan belum memberi fasilitas objek wisata ditempat ini seperti toilet umum dan station bilas, jadi kalau kesini, jangan tanya dimana tempat ganti baju, karena tidak akan ada. Kami berganti baju di dalam mobil bergantian. Untung saja kaca mobil yang saya tumpangi Rayban, jadi aman. Konon katanya penamaan Pantai Kita ini dikaitkan dengan Pantai Kuta di Bali, karena garis pantainya dan suasananya mirip pantai tersohor di dunia tersebut. Hanya saja, pantai Kita masih lebih sepi dan tidak komersil karena jarang dikunjungi turis asing dan domestik. Penamaan pantai Kita juga mudah untuk disebut oleh orang non-Sumba, karena nama asli pantai ini adalah Mananga Aba. Intinya, pantai Kute di Bali dan pantai Kita di Sumba, "11-12" lahh, alias mirip..

Setelah puas bermain dan menikmati pemandangan di Pantai Kita, rombongan beranjak ke Waikelo Sawah, suatu air terjun yang kami gunakan untuk berbilas diri. Wah ternyata sangat nyaman, karena airnya bukan lagi air laut. Sambil menikmati pemandangan, kami pun asik berfoto-foto ala film india "kucek kucek hotahe .." atau "kabikushi kabi gam" (*ejaan salah, biarlah haha)

Belum afdol rasanya kalau ke Sumba lalu tidak mengunjungi kampung adat. Disini masyarakat tinggal  berkelompok. Beberapa dari perkampungan ini masih sangat tradisional sehingga tetap mempertahankan bentuk dan konstruksi bangunan aslinya.

Kebiasaan memberi sirih pinang berikut kapurnya kepada para tamu pun masih tetap dilestarikan. Saya tentu tidak lolos dari perjamuan ini (padahal dalam hati saya berharap diberi teh manis hangat hehe). Walhasil setelah mencoba beberapa kali, saya berhasil membuat air ludah yang keluar saat mengunyah sirih pinang menjadi merah tua, (Yu..huu!). Ngga percaya dengan ke-sumba-an saya? Ini buktinya: (lama-lama saya ketagihan nyirih)


Hal menarik lain disini adalah kuburan batu (jenazah dimasukkan kedalam batu yang diletakkan diatas permukaan tanah) diletakkan didepan rumah. Biasanya satu batu kubur akan diisi oleh jenazah keluarga dengan aturan adat, itulah mengapa batu kubur disini berumur puluhan bahkan ratusan tahun. Jadi bagi mereka, bermain atau menjemur pakaian diatas kuburan keluarga mereka bukanlah hal asing atau tabu. Tidak seperti kuburan di pulau Jawa yang dianggap angker, bagi mereka disini tidak perlu takut main ke kuburan. Jadi tayangan Uji Nyali ataupun Uka-Uka ngga berani main disini karena tidak akan memiliki rating program TV terlaris hehe..

Ketika pulang kerumah, badan rasanya capek setelah puas berkeliling, daannn… blep… mati lampu!. Penduduk terbiasa dengan listrik yang mati selama berjam-jam, tidak akan ada yang protes, mereka bilang hal ini biasa. Itulah mengapa sebagian  rumah memiliki genset. Oo iya, satu hal lain yang menarik disini, hampir semua, sekali lagi se-mu-a, semua rumah memiliki parabola baik rumah sederhana maupun sangat sederhana. Ini tentu berbeda di Pulau Jawa dimana parabola masih dianggap barang mewah. Hal ini karena di Sumba susah sekali mendapatkan signal televisi. Yaahhh bisa dipahami. 

Sumba telah membuka mata saya bahwa Indonesia begitu unik berikut dengan kekayaan budaya dan tradisinya. Banyak hal baru saya dapatkan disini. Menurut saya kebiasaan itu adalah cara bagi mereka untuk bertahan hidup. Seperti halnya, karena kebiasaan bermobilisasi dengan berjalan kaki, sementara tidak banyak dari mereka yang memiliki kendaraan pribadi, lalu mereka terbiasa membawa beban berat diatas kepala, berjalan tanpa memegangnya. Walau menempuh jalan berkilometer-kilometer, bawaan diatas kepala itu tidak mungkin akan jatuh , mengagumkan bagi saya, karena saya tidak bisa. Belum lagi masyarakat dipegunungan biasanya menjunjung air seperti ini dari sumber mata air kerumah mereka.
Ketika saya datang, ada kabar gembira didesa ini, pemerintahnya akan meresmikan sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air (Air Terjun-'Harani') disini. Saya penasaran ingin melihat seperti apa air terjunnya, dan berikut hasilnya.. :)

Sumba telah memberi kesan mendalam terhadap paradigmaku akan pulau ini termasuk kebersahajaan penduduknya dalam menjalani hidup. Pencitraan NTT sebagai propinsi miskin sungguh tidak adil. Tempat ini kaya. Analisa saya mengarah kemungkinan citra yang sudah dibangun hanya membuat NTT khususnya Sumba semakin miskin. Sungguh naif kalau mendefinisikan "kelaparan" itu samadengan tidak makan nasi sehari tiga kali. Sebagian besar dari penduduk NTT tidak makan nasi tiga kali sehari karena proses mengolah sawah mereka masih konvensional termasuk sangat bergantung pada alam, dan tanah mereka tidak cocok dengan persawahan. Tetapi tidak demikian dengan hasil yang diperoleh dari menanam ketela, jagung, dan makanan sumber karbohidrat lain selain beras, hal tsb berlimpah. Makanan mereka memang jagung dan ketela, bukan berarti mereka miskin. Buktinya, mereka happy dan kenyang dengan makan umbi-umbian, sagu dan jagung. 

Citra yang dibuat media hanya akan berdampak pada ketidaksesuaian bantuan yang disubsidi pemerintah dengan apa yang mereka butuhkan. Lihat saja, kalau berobat ke Puskesmas, mereka mendapatkan beras se-plastik, padahal andai saja bentuk bantuan tersebut tepat dialokasikan sesuai dengan yang mereka butuhkan, bukan dialihkan kepembelanjaan yang mereka tidak butuhkan demi kepentingan pribadi yang memiliki kuasa di pusat. Dengan hamparan stepa dan sabana, penghasilan mereka banyak didapat dari beternak. Itulah mengapa banyak dari mereka yang dapat menyekolahkan anak - anaknya ke Pulau Jawa (beberapa teman saya dari Sumba) dan mereka memiliki jiwa juang yang tidak kalah dengan penduduk di pulau lain. Hampir setiap rumah disini memiliki hewan ternak sebagai aset wajib. Meskipun rumah mereka kecil, tapi kandang ternak terisi puluhan babi, kuda, kerbau, ayam. Menurut saya mereka sedikit boros saat upacara adat digelar, karena masing-masing rumah tangga akan menyumbangkan hewan ternaknya. Sehingga kalau dikumpulkan, untuk satu acara adat saja seperti pernikahan, ada puluhan bahkan ratusan hewan ternak yang akan segera disembelih. Tuntutan sosial ini yang membuat meskipun mereka memiliki ternak dengan nilai jual yang tinggi, namun kebiasaan adat seperti ini yang tidak ditunjang dengan pemikiran untuk maju membuat sumber daya alamnya berputar ditempat. Saya memiliki hitungan dan spekulasi, kalau Sumba terus dibiarkan seperti ini, dengan pencitraan dan tanpa dukungan pemerintah, mungkin Sumba akan maju paling tidak seperti kota -kota administratif di pulau Jawa akan membutuhkan beberapa generasi kedepan, tetapi disaat itu, kota-kota lain di barat Indonesia sudah berproses dengan peradaban yang lebih maju. Sungguh sangat tertinggal. Lalu bagaimana dengan nasib generasi setelah kita? Ternyata, Sumba tidak saja membutuhkan infrastruktur publik sebagai hardwarenya, tetapi hal itu hendaknya ditunjang dengan pembangunan sumber daya manusia yang memiliki identitas ke-indonesia-an tetapi siap menghadapi tuntutan jaman sebagai software dan brainware.
Bagaimanapun Pulau Sumba telah memberi pesonanya sendiri sebagai bagian dari kekayaan negeri ini. Rasanya lima hari berlibur ke pulau ini tidak cukup untuk belajar sambil menikmati alamnya yang elok. Banyak ide menari-nari dikepala saya tentang bagaimana membangun daerah ini untuk tetap mampu survive ditengah tuntutan jaman namun tidak meninggalkan karakter dan kultur keunikannya sebagai bagian dari kekayaanya yang tidak boleh diabaikan. Jangan sampai dicuri lagi oleh negara lain baru kita kebakaran jenggot.

(Sayang sekali, kedatangan saya kali ini tidak bertepatan dengan dilaksanakannya Pasola. Mereka menganjurkan saya untuk menunggu sekitar 15 hari lagi untuk tetap di Sumba, karena sebentar lagi Pasola akan digelar. Akan banyak turis mancanegara yang akan menyaksikannya. Pasola merupakan gelar pertunjukkan perang dengan lembing tumpul sambil menunggang kuda. Upacara ini sarat akan makna yang mendalam. Tetapi tidak mengapa, saya juga harus kembali ke Jakarta. Mungkin lain kali akan saya sesuaikan waktu kunjungan dengan gelar Pasola).

Semoga kisah perjalanan diatas dapat membuka sedikit wawasan dan menstimulasi inspirasi hebat teman-teman akan bagian kecil negeri ini yang sering dilupakan oleh sebagian besar dari kita. Akhirnya, maafkan saya kalau ide diatas terkesan muluk - muluk bagi yang pesimis, tetapi, bukankah semua diawali dari ide dulu. Ada sebuah kalimat bijak yang memberi nasehat "orang yang berpikir besar akan membicarakan ide-ide dan gagasan, orang yang berpikir biasa akan membicarakan kejadian, lalu orang yang berpikir rendah hanya bisa membicarakan orang lain". Dengan keoptimisan, saya yakin suatu hari nanti aplikasi dari tulisan diatas cepat atau lambat akan terwujud, hanya saja dibutuhkan jiwa juang dan mentalitas yang bersungguh-sungguh untuk membuatnya menjadi kenyataan.


















Kamis, 19 Januari 2012

Selangkah lagi !

Akhirnya.. terlewati jg semester 3 ! Alhamdulillah dengan sangat baik. Setelah bersyukur, ingin rasanya mengucapkan banyak terimakasih ke papa, mama, heni, adhi & wahyu, temen2 kerja, temen2 kuliah, tukang bubur kacang ijo yg jadi tumpuan sarapan pagi-ku jg tukang sate keliling yg tiap tengah malam mampir kedepan kos untuk mengisi perutku yg keroncongan saat buat tugas kuliah yg menumpuk itu.

Perjuangan belom berakhir, setelah ini saya harus buat thesis perdana. Judulnya Strategi Buckpassing AS terhadap peaceful rise China di Asia Timur. Karena kajian strategi, jadi akan banyak analisanya. Semoga saja lancar dan dapat dosen pembimbing yang dapat mempercepat kelulusan ini.

Sebelum mengerjakan thesis, saya mau berlibur ke Denpasar lalu backpacking ke arah timur, sumbawa, ke timur lagi Sumba, inginnya sih diteruskan ke Papua, tapi waktu cuti hanya sebentar jadi akan harus kembali ke Jakarta untuk kerja dan ngelesi lalu mulai buat thesis lagi.
Kenapa ke Indonesia bagian Timur liburannya? Untuk mencari inspirasi tentang ide dan pemikiran apa saja yang dapat ku sumbangkan bagi daerah yang katanya miskin tetapi sesungguhnya tidak miskin itu.

These all just my little steps for the better future.