Work hard, Play Hard…
Tidak juga dapat dibilang ini aksi balas dendam karena saat kebanyakan orang merayakan malam pergantian tahun, saya menikmati manuver kembang api dari balik jendela kamar dilantai 2 kos-kosan sambil mengerjakan take-home ujian akhir semester hingga dini hari. Setelah berkerja keras selama semester ini dengan hasil yang cukup sesuai dengan pengorbanan, kini saatnya memberi reward kepada diri sendiri dengan menghabiskan waktu libur ke tempat yang jarang dituju sebagai daerah tujuan wisata tetapi menyimpan segudang alasan mengapa Indonesia memiliki potensi istimewa akan keberagaman budayanya. Dan salah satunya Sumba. Berikut laporannya...
Setelah menempuh penerbangan dari Jakarta ke Denpasar yang cukup melelahkan karena jadwal pesawat sempat mengalami keterlambatan, akhirnya sampai juga di Pulau Dewata. Sayapun meluangkan waktu sebentar untuk berkeliling, lalu perjalanan kulanjutkan dengan pesawat kecil menuju Bandara Tambolaka yang terletak di Sumba Barat Daya. Waktu tempuhnya kurang dari 1 jam, dan agak bumpy, maklum pesawat kecil.. sampai juga di bandara yang sedang direnovasi ini. Terlihat gedung bandara menjadi lebih baru daripada kedatanganku 3 tahun lalu, 2009. Walaupun demikian, kondisi bandara baru ini masih jauh dari kelayakan. Lihat saja proses pengambilan bagasi penumpang... sangat manual. Barang diangkut dengan troli besar dari badan pesawat oleh staf dan porter bandara, lalu satu per satu diturunkan, sementara penumpang yang melihat barangnya sudah diturunkan lalu mengambil sendiri travel bagnya. Muncul pertanyaan dari benak saya, bagaimana kalau barangnya tertukar, atau ada yang iseng mengambil bukan miliknya. Hehe.. ternyata tidak ada... orang Sumba tidak iseng seperti sebagian kecil orang Jakarta. Disini aman, meskipun orang baru seperti saya sempat curiga untuk pertama kali tiba disini, karena wajah mereka seram eh..asing bagi saya dan face profile-nya sulit dibedakan satu sama lain, dengan mulut dan gigi yang memerah. Belakangan saya baru tau hal itu disebabkan karena mereka memiliki kebiasaan mengunyah sirih pinang. Hal tersebut dilakukan bukan saja oleh wanita tetapi juga pria. Saya pikir mereka habis minum darah, atau berkanibal hihihi... Sehingga saya mengira saya akan dijadikan korban berikutnya. Akhirnya saya menyesal sempat berpikir demikian, ternyata mereka begitu santun walau nada bicara terdengar tinggi bagi saya yang tidak biasa mendengarnya dan sedikit menghentak-hentak, tetapi lama kelamaan saya terbiasa. Kata yang tepat untuk mendiskripsikan karakter mereka adalah: santun, ramah, dan tulus ikhlas membantu terutama kepada para pendatang. Hati mereka seramah alamnya yang menyambut kedatangan saya dengan karpet sabana & stepa hijau yang membentang luas, lalu pandangan saya dibatasi oleh bukit-bukit hijau, mirip film teletubies. This is the beginning of the adventure....
Perjalanan saya berlanjut ke desa Anakalang, jarak tempuhnya sekitar 1.5 jam dari bandara Tambolaka (dijamin bebas macet), atau sekitar 22KM dari Waikabubak, ibukota Kabupaten Sumba Barat. Setiba di Anakalang saya disambut hangat oleh warga yang ternyata mereka semua se-keturunan. Tidak mengherankan karena perkawinan sedarah dilegalkan oleh masyarakat di desa terluas di Sumba Tengah ini. Anakalang merupakan salah satu desa di Sumba Tengah dan Waibakul sebagai ibukota kabupatennya sejak terjadi pemekaran kabupaten.
Wilayah ini subur sama seperti Waikabubak yang hijau, memang agak berbeda dengan Waingapu, ibu kota Sumba Timur yang agak gersang. Saat bertemu apa yang terjadi, seperti ini…
Eiitss … kita bukan mau cipika cipiki , tapi cium Sumba. Saat bertemu kita harus memberi salam dengan cara menyentuhkan cuping hidung, digesekkan dua kali kekanan dan kekiri lalu saling memegang bahu. Hal ini pengganti berjabat tangan dan cipika cipiki. Awalnya saya risih, apalagi saat akan menyentuhkan cuping hidung pada pria, takutt.. hihi..juga dicampur perasaan geli karena terlihat lucu tapi lama kelamaan saya terbiasa. Seperti kata pepatah, “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”.
Keesokan harinya, kami bertamasya ke Pantai Kita, salah satu pantai yang belum tersentuh oleh tangan investor, hehe.. jadi tidak ada hotel dan penjual di pantai yang belum komersil ini. Untuk itu, kamipun tidak lupa membawa makanan dan minuman sebagai bekal jalan-jalan. Sayangnya pemerintah daerah ikut-ikutan belum memberi fasilitas objek wisata ditempat ini seperti toilet umum dan station bilas, jadi kalau kesini, jangan tanya dimana tempat ganti baju, karena tidak akan ada. Kami berganti baju di dalam mobil bergantian. Untung saja kaca mobil yang saya tumpangi Rayban, jadi aman. Konon katanya penamaan Pantai Kita ini dikaitkan dengan Pantai Kuta di Bali, karena garis pantainya dan suasananya mirip pantai tersohor di dunia tersebut. Hanya saja, pantai Kita masih lebih sepi dan tidak komersil karena jarang dikunjungi turis asing dan domestik. Penamaan pantai Kita juga mudah untuk disebut oleh orang non-Sumba, karena nama asli pantai ini adalah Mananga Aba. Intinya, pantai Kute di Bali dan pantai Kita di Sumba, "11-12" lahh, alias mirip..
Setelah puas bermain dan menikmati pemandangan di Pantai Kita, rombongan beranjak ke Waikelo Sawah, suatu air terjun yang kami gunakan untuk berbilas diri. Wah ternyata sangat nyaman, karena airnya bukan lagi air laut. Sambil menikmati pemandangan, kami pun asik berfoto-foto ala film india "kucek kucek hotahe .." atau "kabikushi kabi gam" (*ejaan salah, biarlah haha)
Belum afdol rasanya kalau ke Sumba lalu tidak mengunjungi kampung adat. Disini masyarakat tinggal berkelompok. Beberapa dari perkampungan ini masih sangat tradisional sehingga tetap mempertahankan bentuk dan konstruksi bangunan aslinya.
Kebiasaan memberi sirih pinang berikut kapurnya kepada para tamu pun masih tetap dilestarikan. Saya tentu tidak lolos dari perjamuan ini (padahal dalam hati saya berharap diberi teh manis hangat hehe). Walhasil setelah mencoba beberapa kali, saya berhasil membuat air ludah yang keluar saat mengunyah sirih pinang menjadi merah tua, (Yu..huu!). Ngga percaya dengan ke-sumba-an saya? Ini buktinya: (lama-lama saya ketagihan nyirih)
Hal menarik lain disini adalah kuburan batu (jenazah dimasukkan kedalam batu yang diletakkan diatas permukaan tanah) diletakkan didepan rumah. Biasanya satu batu kubur akan diisi oleh jenazah keluarga dengan aturan adat, itulah mengapa batu kubur disini berumur puluhan bahkan ratusan tahun. Jadi bagi mereka, bermain atau menjemur pakaian diatas kuburan keluarga mereka bukanlah hal asing atau tabu. Tidak seperti kuburan di pulau Jawa yang dianggap angker, bagi mereka disini tidak perlu takut main ke kuburan. Jadi tayangan Uji Nyali ataupun Uka-Uka ngga berani main disini karena tidak akan memiliki rating program TV terlaris hehe..
Ketika pulang kerumah, badan rasanya capek setelah puas berkeliling, daannn… blep… mati lampu!. Penduduk terbiasa dengan listrik yang mati selama berjam-jam, tidak akan ada yang protes, mereka bilang hal ini biasa. Itulah mengapa sebagian rumah memiliki genset. Oo iya, satu hal lain yang menarik disini, hampir semua, sekali lagi se-mu-a, semua rumah memiliki parabola baik rumah sederhana maupun sangat sederhana. Ini tentu berbeda di Pulau Jawa dimana parabola masih dianggap barang mewah. Hal ini karena di Sumba susah sekali mendapatkan signal televisi. Yaahhh bisa dipahami.
Sumba telah membuka mata saya bahwa Indonesia begitu unik berikut dengan kekayaan budaya dan tradisinya. Banyak hal baru saya dapatkan disini. Menurut saya kebiasaan itu adalah cara bagi mereka untuk bertahan hidup. Seperti halnya, karena kebiasaan bermobilisasi dengan berjalan kaki, sementara tidak banyak dari mereka yang memiliki kendaraan pribadi, lalu mereka terbiasa membawa beban berat diatas kepala, berjalan tanpa memegangnya. Walau menempuh jalan berkilometer-kilometer, bawaan diatas kepala itu tidak mungkin akan jatuh , mengagumkan bagi saya, karena saya tidak bisa. Belum lagi masyarakat dipegunungan biasanya menjunjung air seperti ini dari sumber mata air kerumah mereka.
Sumba telah membuka mata saya bahwa Indonesia begitu unik berikut dengan kekayaan budaya dan tradisinya. Banyak hal baru saya dapatkan disini. Menurut saya kebiasaan itu adalah cara bagi mereka untuk bertahan hidup. Seperti halnya, karena kebiasaan bermobilisasi dengan berjalan kaki, sementara tidak banyak dari mereka yang memiliki kendaraan pribadi, lalu mereka terbiasa membawa beban berat diatas kepala, berjalan tanpa memegangnya. Walau menempuh jalan berkilometer-kilometer, bawaan diatas kepala itu tidak mungkin akan jatuh , mengagumkan bagi saya, karena saya tidak bisa. Belum lagi masyarakat dipegunungan biasanya menjunjung air seperti ini dari sumber mata air kerumah mereka.
Ketika saya datang, ada kabar gembira didesa ini, pemerintahnya akan meresmikan sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air (Air Terjun-'Harani') disini. Saya penasaran ingin melihat seperti apa air terjunnya, dan berikut hasilnya.. :)
Sumba telah memberi kesan mendalam terhadap paradigmaku akan pulau ini termasuk kebersahajaan penduduknya dalam menjalani hidup. Pencitraan NTT sebagai propinsi miskin sungguh tidak adil. Tempat ini kaya. Analisa saya mengarah kemungkinan citra yang sudah dibangun hanya membuat NTT khususnya Sumba semakin miskin. Sungguh naif kalau mendefinisikan "kelaparan" itu samadengan tidak makan nasi sehari tiga kali. Sebagian besar dari penduduk NTT tidak makan nasi tiga kali sehari karena proses mengolah sawah mereka masih konvensional termasuk sangat bergantung pada alam, dan tanah mereka tidak cocok dengan persawahan. Tetapi tidak demikian dengan hasil yang diperoleh dari menanam ketela, jagung, dan makanan sumber karbohidrat lain selain beras, hal tsb berlimpah. Makanan mereka memang jagung dan ketela, bukan berarti mereka miskin. Buktinya, mereka happy dan kenyang dengan makan umbi-umbian, sagu dan jagung.
Citra yang dibuat media hanya akan berdampak pada ketidaksesuaian bantuan yang disubsidi pemerintah dengan apa yang mereka butuhkan. Lihat saja, kalau berobat ke Puskesmas, mereka mendapatkan beras se-plastik, padahal andai saja bentuk bantuan tersebut tepat dialokasikan sesuai dengan yang mereka butuhkan, bukan dialihkan kepembelanjaan yang mereka tidak butuhkan demi kepentingan pribadi yang memiliki kuasa di pusat. Dengan hamparan stepa dan sabana, penghasilan mereka banyak didapat dari beternak. Itulah mengapa banyak dari mereka yang dapat menyekolahkan anak - anaknya ke Pulau Jawa (beberapa teman saya dari Sumba) dan mereka memiliki jiwa juang yang tidak kalah dengan penduduk di pulau lain. Hampir setiap rumah disini memiliki hewan ternak sebagai aset wajib. Meskipun rumah mereka kecil, tapi kandang ternak terisi puluhan babi, kuda, kerbau, ayam. Menurut saya mereka sedikit boros saat upacara adat digelar, karena masing-masing rumah tangga akan menyumbangkan hewan ternaknya. Sehingga kalau dikumpulkan, untuk satu acara adat saja seperti pernikahan, ada puluhan bahkan ratusan hewan ternak yang akan segera disembelih. Tuntutan sosial ini yang membuat meskipun mereka memiliki ternak dengan nilai jual yang tinggi, namun kebiasaan adat seperti ini yang tidak ditunjang dengan pemikiran untuk maju membuat sumber daya alamnya berputar ditempat. Saya memiliki hitungan dan spekulasi, kalau Sumba terus dibiarkan seperti ini, dengan pencitraan dan tanpa dukungan pemerintah, mungkin Sumba akan maju paling tidak seperti kota -kota administratif di pulau Jawa akan membutuhkan beberapa generasi kedepan, tetapi disaat itu, kota-kota lain di barat Indonesia sudah berproses dengan peradaban yang lebih maju. Sungguh sangat tertinggal. Lalu bagaimana dengan nasib generasi setelah kita? Ternyata, Sumba tidak saja membutuhkan infrastruktur publik sebagai hardwarenya, tetapi hal itu hendaknya ditunjang dengan pembangunan sumber daya manusia yang memiliki identitas ke-indonesia-an tetapi siap menghadapi tuntutan jaman sebagai software dan brainware.
Bagaimanapun Pulau Sumba telah memberi pesonanya sendiri sebagai bagian dari kekayaan negeri ini. Rasanya lima hari berlibur ke pulau ini tidak cukup untuk belajar sambil menikmati alamnya yang elok. Banyak ide menari-nari dikepala saya tentang bagaimana membangun daerah ini untuk tetap mampu survive ditengah tuntutan jaman namun tidak meninggalkan karakter dan kultur keunikannya sebagai bagian dari kekayaanya yang tidak boleh diabaikan. Jangan sampai dicuri lagi oleh negara lain baru kita kebakaran jenggot.
(Sayang sekali, kedatangan saya kali ini tidak bertepatan dengan dilaksanakannya Pasola. Mereka menganjurkan saya untuk menunggu sekitar 15 hari lagi untuk tetap di Sumba, karena sebentar lagi Pasola akan digelar. Akan banyak turis mancanegara yang akan menyaksikannya. Pasola merupakan gelar pertunjukkan perang dengan lembing tumpul sambil menunggang kuda. Upacara ini sarat akan makna yang mendalam. Tetapi tidak mengapa, saya juga harus kembali ke Jakarta. Mungkin lain kali akan saya sesuaikan waktu kunjungan dengan gelar Pasola).
Semoga kisah perjalanan diatas dapat membuka sedikit wawasan dan menstimulasi inspirasi hebat teman-teman akan bagian kecil negeri ini yang sering dilupakan oleh sebagian besar dari kita. Akhirnya, maafkan saya kalau ide diatas terkesan muluk - muluk bagi yang pesimis, tetapi, bukankah semua diawali dari ide dulu. Ada sebuah kalimat bijak yang memberi nasehat "orang yang berpikir besar akan membicarakan ide-ide dan gagasan, orang yang berpikir biasa akan membicarakan kejadian, lalu orang yang berpikir rendah hanya bisa membicarakan orang lain". Dengan keoptimisan, saya yakin suatu hari nanti aplikasi dari tulisan diatas cepat atau lambat akan terwujud, hanya saja dibutuhkan jiwa juang dan mentalitas yang bersungguh-sungguh untuk membuatnya menjadi kenyataan.